Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PKPHI) Kota Bukittinggi Ryan Permana Putra S.H, M.H dan PKL Pasar Atas Bukittinggi Arianto yang menjadi korban persekusi.
BUKITTINGGI - Pasca beredarnya video permintaan maaf dari akun media sosial (medsos) Facebook (FB) bernama Arianto yang membuat postingan permintaan maaf kepada Walikota Bukittinggi, Erman Safar pada 21 Januari 2022, Arianto menjawab bahwa dirinya membuat video itu dalam keadan diintimidasi, Senin 31 Januari 2022.
Arianto yang sehari -harinya berprofesi sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Pasar Atas Bukittinggi ini mengaku, dirinya diintervensi dan diancam oleh beberapa orang secara bergantian sebelum dan pasca video itu viral di berbagai akun media sosial.
Ancaman ataupun tindakan persekusi itu, menurut Arianto tak hanya dari kalangan sesama PKL di Pasar Atas saja, tapi juga dari oknum petugas Satpol PP dan oknum petugas Kepolisian, tambahnya.
Ironisnya, pasca video klarifikasi kedua yang diposting di media sosial, menurut Arianto barang dagangannya juga dicuri orang dari tempat dirinya biasa menyimpan barang dagangannya. Kasus kehilangan barang dagangan ini juga sudah dilaporkan oleh Arianto dan istrinya ke polisi.
"Saya merasa tidak ada yang salah dengan postingan saya di medsos tersebut, tapi karena desakan berbagai pihak, terutama oleh salah seorang PKL lainnya yang mengatasnamakan pemerintah Kota Bukittinggi, saya terpaksa membuat video tersebut,"tambah Arianto.
Dikatakan juga oleh Arianto, dirinya merasa tertekan oleh intimidasi berbagai pihak. Dia terpaksa harus membuat video permintaan maaf kepada Walikota Bukittinggi dan jajaran nya untuk kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PKPHI) Kota Bukittinggi Ryan Permana Putra S.H, M.H mengatakan, terkait hak beraspirasi saudara Arianto di facebook seharusnya tidak ada kekerasan verbal atau pun intimidasi, karena dijamin dalam Pasal 19 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, ujarnya.
"Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apa pun, tanpa memandang batas negara, baik secara lisan, tertulis atau di media cetak, dalam bentuk karya seni, atau melalui media lain pilihannya, " ungkap Riyan.
Selain itu, perlindungan kebebasan berpendapat diatur secara spesifik dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, tambahnya
Terkait dengan tindakan persekusi yang telah dilakukan, ranah hukum nya juga sudah jelas, semua nya tergantung dengan tindakan yang sudah dilakukan pelaku, apakah membalas dengan mencaci di media sosial atau melakukan pengancaman hingga penganiayaaan, tukasnya.
"Misalnya, saya hina orang lain di media sosial, karena saya tidak terima dengan pendapatnya, maka saya bisa dijerat dengan UU ITE," kata Riyan.
Namun, apabila oranglain, atau pendukung orang itu merasa tidak suka atas hinaan saya lalu mengancam saya, maka itu akan dijerat dengan KUHP," jelas Riyan.
Riyan Permana Putra menjelaskan, pelaku yang mengancam melalui media sosial tidak dijerat dengan UU ITE, melainkan dengan KUHP karena tindakannya sudah mengancam.
"Jika pelaku kemudian mengancam meskipun melalui media sosial, ancaman pidananya tidak dari UU ITE tapi KUHP, asalkan ada ancaman ingin menyiksa, menyakiti, dan sebagainya. Kalau memposting bahasa mencela sebagai balasan tapi tidak mengancam dan menganiaya, itu dijerat UU ITE," jelasnya.
Riyan juga menjabarkan, pelaku persekusi juga bisa dijerat dengan UU ITE.
Menurutnya, kunci untuk menangani masalah persekusi di Indonesia ada di puncak penegak hukum yang harus tegas memburu para pelaku agar menimbulkan efek jera.
"Walaupun tak ada penganiayaan bisa dijerat dengan UU ITE. Persekusi sudah lama terjadi, sejak dahulu. Namun saat ini lebih banyak terkait isu keagaamaan, ras dan sikap tidak menerima perbedaan pendapat. Untuk itu, penegak hukum harus jelas menyapu pelakunya, "tukas Riyan.
Sebagai informasi, pelaku persekusi diancam Pasal 368 KUHP tentang pengancaman dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan dan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Sedangkan dalam UU ITE, pelaku persekusi bisa dijerat sesuai UU No 19/2016 tentang Perubahan atas UU ITE No 11/2008, yaitu melakukan tindakan mengancam dan menakut-nakuti pada pribadi dapat dikenai hukuman maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal satu miliar rupiah, pungkasnya.(jtr)