TUCoGUAlTSz7GSroTUrlBSAlGA==

Putus Kontrak, PT Inanta Bhakti Utama Ungkap Kronologis Pekerjaan Drainase Primer di Jalan Perintis Kemerdekaan Bukittinggi


BUKITTINGGI - Pasca pemutusan kontrak kerja oleh Dinas PUPR Kota Bukittinggi terhadap PT. Inanta Bhakti Utama dalam pengerjaan proyek Drainase jalan Primer dengan nilai kontrak Rp12,9 Miliar di tengah kota Bukittinggi, tepatnya di Jalan Perintis Kemerdekaan sampai depan Rumah Potong Hewan (RPH) Bukittinggi, pada akhir Desember 2021 lalu, masih menyisakan setumpuk persoalan baru.

Pasalnya, di fase akhir pengerjaan proyek yang diputus kontrak itu, Dinas PUPR menghitung total bobot pekerjaan (final quantity) yang dilakukan oleh PT Inanta Bhakti Utama sebesar 59 persen. Sedangkan, pihak PT Inanta Bhakti Utama juga mengklaim pekerjaan itu sudah diselesaikan dengan bobot 62,4 persen.

Untuk penyelesaian hitungan akhirnya, Aparat Internal Pengawasan Pemerintah (APIP) diturunkan untuk menghitung berapa bobot yang telah dikerjakan oleh kontraktor pelaksana. 

Pihak PT Inanta Bhakti Utama, Awaludin Rao juga angkat bicara terkait dengan proyek drainase yang fenomenal itu. Karena, dari awal pengerjaan, hingga proyek ini diputus kontrak, pengerjaan proyek ini terus mendapat tanggapan negatif dari berbagai elemen masyarakat, dan ribuan komentar miring dari netizen di media sosial.


Menurut Awaludin Rao, dari awal perencanaan, pengerjaan proyek ini memang sudah tidak jelas. Karena terlalu banyak perubahan di dalam bestek pekerjaan. Tidak efektifnya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan perintah kerja yang diberikan, juga membuat pekerjaan ini tidak bisa dituntaskan pada tengat waktu yang telah ditentukan. Penyebabnya, karena kami selaku kontraktor pelaksana selalu didera dengan berbagai persoalan saat bekerja di lapangan, ucap Awaludin Rao.

"Perintah kerjanya juga berubah -ubah, dalam rencana awalnya, penggalian saluran akan dilakukan di pinggir jalan. Namun, saat pelaksanaan, dengan alasan harus berkoordinasi dengan pihak seperti PDAM, PLN, Telkom yang galian kabelnya juga banyak di dalam tanah, akhirnya pengerjaan ini dialihkan ke tengah jalan," sambungnya.

Awaludin Rao juga membeberkan, persoalan ini dimulai dari awal tender dilaksanakan, tepatnya dari proses lelang pekerjaan oleh LPSE Bukittinggi. Saat lelang, menurut Awaludin Rao, ada pihak yang menggiring LPSE  Bukittinggi untuk memenangkan salah satu perusahaan peserta lelang pekerjaan ini. Namun hal itu tidak terlaksana, bahkan kemudian personel yang mengurus urusan pelelangan di LPSE dan pejabat yang ditunjuk untuk urusan pekerjaan ini juga diganti oleh Pemko Bukittinggi, ungkap Awaludin Rao.

"Karena hal itu jugalah, kami selaku kontraktor pelaksana pemenang lelang, selalu diintervensi dalam melaksanakan pekerjaan, mulai dari perubahan bestek, keterlambatan gambar pengerjaan, penghentian pekerjaan, dan berbagai persoalan lainnya. Pihak Pemko Bukittinggi seperti tidak mendukung pelaksanaan pekerjaan ini. Jika kami tidak disuport bekerja, kenapa Pemko Bukittinggi melelang pekerjaan ini," tanya Awaludin Rao.

Awaludin Rao juga menuturkan, ada aspek politik dari awal pelelangan pekerjaan dan ada aspek sosial di dalam pelaksanaan pekerjaan. Bahkan yang membuat saya tertekan, ada pihak yang menggiring opini masyarakat untuk menghujat dan menggiring saya untuk menghentikan pekerjaan ini, saat pekerjaan masih berlangsung dan progresnya masih tercapai, tuturnya. 

Dikatakan juga oleh Awaludin Rao, efektif kami bekerja hanya dua bulan saja, itu pun pengerjaannya juga dilakukan pada malam hari. Sementara itu, saat kami tengah bekerja juga kerap dihentikan oleh dinas PUPR dengan berbagai alasan, katanya.

Dari perencanaannya saja, proyek ini sudah amburadul, saya selaku pelaksana pekerjaan banyak dirugikan, sepertinya saya bekerja  tidak dilindungi dan didukung oleh Pemko Bukittinggi, malahan kerap diintervensi, ulasnya.

Terkait dengan dampak dari pekerjaan ini, seperti perekonomian masyarakat, lalu lintas terganggu, serta banyak pihak yang sudah mengalami kerugian, bahkan ada beberapa warga yang kendaraannya terperosok ke dalam lubang galian, menurut Rao, ini adalah tanggung jawab kita bersama.

Secara prosedur kami bekerja sesuai dengan petunjuk teknik dan pelaksanaan pekerjaan ini, namun jika ada faktor kelalaian, itu juga di luar kendali kami, lanjutnya.

Kami pun juga bertanggung jawab kalau ada persoalan di lapangan selama pekerjaan berlangsung, namun yang disesalkannya adalah tidak ada dukungan moril dari Pemko Bukittinggi kepadanya untuk menuntaskan pekerjaan ini sesuai dengan jadwal, tutup Rao.

Kini, setelah pemutusan kontrak, Dinas PUPR Bukittinggi terlihat juga telah memagari lubang galian dengan seng dan kayu, agar pengendara yang melintas tidak terperosok ke bekas lubang galian tersebut. (jtr)

Type above and press Enter to search.