(dok, fbg logikafilsuf)
ARTIKEL, GoSumatera -- Orang yang paling sering diejek justru sering kali adalah mereka yang sebenarnya punya potensi besar. Mengapa? Karena ejekan adalah senjata paling murah yang dipakai untuk menjatuhkan mental orang lain. Pertanyaannya, apakah kita akan membiarkan harga diri ditentukan oleh mulut orang, atau justru menjadikan ejekan itu sebagai bahan bakar untuk lebih kuat?
Fakta menariknya, menurut buku Emotional First Aid karya Guy Winch, ejekan memiliki efek psikologis yang sama dengan rasa sakit fisik. Otak manusia tidak bisa membedakan antara rasa sakit akibat pukulan dan sakit akibat kata-kata. Itu sebabnya ejekan bisa terasa membekas lebih lama daripada luka di tubuh. Tetapi yang membedakan seseorang yang lemah dan kuat terletak pada cara meresponsnya seperti dilansir dari group fb logika filsuf.
Ejekan bisa datang dari mana saja: teman sekolah, rekan kerja, bahkan keluarga. Kadang mereka menyebutnya “sekadar bercanda”, padahal dampaknya bisa menghancurkan harga diri. Di sinilah pentingnya memiliki strategi, bukan sekadar bertahan. Mari kita bedah tujuh cara kritis mematahkan ejekan agar kata-kata orang tidak lagi punya kuasa atas hidupmu.
1. Memahami Pola Psikologis di Balik Ejekan
Dalam The Psychology of Verbal Abuse karya Patricia Evans, dijelaskan bahwa ejekan sering muncul sebagai mekanisme proyeksi. Orang yang mengejek sebenarnya sedang mengalihkan rasa tidak amannya sendiri dengan cara menjatuhkan orang lain. Jadi, ketika kita menyadari bahwa ejekan bukan cerminan diri kita, melainkan kelemahan orang yang mengucapkannya, kita otomatis tidak lagi reaktif.
Contoh sederhana, ketika ada orang berkata “kamu bodoh”, padahal ia sendiri gagal dalam banyak hal, ejekannya lebih mencerminkan kegelisahan pribadinya daripada realitas tentang diri kita. Menyadari fakta ini mengurangi beban emosional yang kita tanggung. Alih-alih terjebak, kita bisa menempatkan diri sebagai penonton yang tenang.
Inilah langkah pertama mematahkan ejekan: bukan membalas dengan kata-kata, melainkan dengan kesadaran kritis. Dan kesadaran seperti ini, kalau terus dilatih, akan membangun ketahanan mental yang membuat ejekan kehilangan gigi.
2. Menjawab dengan Humor yang Terukur
Dalam The Humor Code karya Peter McGraw dan Joel Warner, humor dijelaskan sebagai senjata paling efektif untuk meredakan ketegangan sosial. Saat ejekan datang, respons humoris yang cerdas bisa membalikkan suasana tanpa harus marah atau defensif.
Misalnya, ketika ada teman berkata “wah, kamu kurus banget, jangan sampai hilang ditiup angin”, jawaban seperti “tenang saja, saya sedang hemat biaya makan, biar keuangan stabil” akan membuat ejekan kehilangan tajinya. Orang lain justru akan tertawa bersama kita, bukan bersama si pengejek.
Humor bukan sekadar lelucon, melainkan seni menguasai situasi. Ketika kita bisa menertawakan diri sendiri dengan anggun, kita merebut kendali percakapan sekaligus menunjukkan kepercayaan diri.
3. Menguasai Bahasa Tubuh yang Tegas
Allan dan Barbara Pease dalam The Definitive Book of Body Language menjelaskan bahwa 80 persen komunikasi manusia bersifat non-verbal. Artinya, respon tubuh sering kali lebih keras terdengar daripada kata-kata.
Ketika seseorang mengejek, lalu kita menunduk, menyilangkan tangan, atau tersenyum kaku, ia akan merasa ejekannya berhasil. Sebaliknya, berdiri tegak, menatap mata dengan tenang, dan menjawab singkat “itu pendapatmu” akan mematahkan energi negatifnya.
Kekuatan bahasa tubuh membuat kita tidak perlu banyak bicara. Orang yang kuat terlihat dari sikapnya, bukan dari panjangnya kata-kata. Dan ini justru lebih memukul daripada balasan verbal yang emosional.
4. Mengendalikan Narasi Internal
Menurut Ethan Kross dalam Chatter: The Voice in Our Head, Why It Matters, and How to Harness It, ejekan menjadi berbahaya ketika kita mulai mempercayai suara negatif itu dalam kepala. Narasi internal yang berulang bisa membuat ejekan orang luar menjadi keyakinan diri sendiri.
Contohnya, ketika sering diejek “kamu nggak bisa sukses”, lama-lama kita mendengarnya di dalam kepala sebagai suara diri. Inilah yang menghancurkan banyak orang: bukan kata-kata orang lain, tetapi gema dari kata-kata itu dalam pikiran.
Menguasai narasi internal berarti belajar mengganti “aku memang lemah” dengan “aku sedang berkembang”. Cara ini pelan tapi pasti akan menggeser makna ejekan, menjadikannya pemicu motivasi alih-alih luka batin.
5. Melatih Keheningan Strategis
Susan Cain dalam Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking menyebut bahwa diam bisa menjadi strategi sosial yang tajam. Kadang, tidak merespons ejekan justru lebih menyakitkan bagi pengejek, karena ia tidak mendapatkan perhatian yang ia cari.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang mencoba memancing reaksi emosional dari kita. Dengan tidak menanggapi, kita bukan hanya melindungi diri dari konflik, tetapi juga menunjukkan kedewasaan. Ejekan hanya berhasil jika kita memberi panggung.
Di sini kita bisa mulai melihat bahwa kekuatan bukan selalu soal melawan keras, tetapi soal memilih kapan harus diam. Itulah bentuk kendali yang sesungguhnya.
6. Mengubah Ejekan Jadi Bahan Bakar
Ryan Holiday dalam The Obstacle is The Way menjelaskan prinsip stoisisme: setiap halangan bisa menjadi jalan. Termasuk ejekan. Ejekan bisa dijadikan energi untuk membuktikan sesuatu, bukan dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan nyata.
Misalnya, saat ada yang berkata “kamu nggak akan pernah bisa menulis buku”, respons terbaik adalah justru menulis buku. Ironinya, banyak tokoh besar yang awalnya diremehkan justru menjadikan itu alasan utama untuk berkarya lebih besar.
Mengubah ejekan jadi bahan bakar bukan sekadar soal ambisi, tetapi juga seni membalikkan energi negatif menjadi produktif. Inilah cara orang besar bergerak: mengubah penghinaan jadi prestasi.
7. Menemukan Lingkaran yang Mendukung
Menurut Brené Brown dalam Daring Greatly, manusia membutuhkan dukungan sosial untuk menjaga keberanian. Ejekan biasanya lebih mudah menghantam mereka yang berdiri sendirian. Dengan adanya lingkaran orang yang mendukung, ejekan dari luar akan lebih mudah diredam.
Contohnya, ketika seorang pelajar sering diejek karena pilihan hobinya, tetapi ia punya komunitas yang menghargai hobinya, maka ejekan kehilangan kekuatannya. Komunitas yang sehat bekerja sebagai perisai psikologis.
Lingkaran positif ini bisa berupa keluarga, sahabat, atau bahkan ruang diskusi yang berbobot. Di sinilah kita bisa menyadari betapa pentingnya akses pada konten yang lebih bernas, eksklusif, dan kritis—seperti yang sering diulas di logikafilsuf—agar pikiran tidak terjebak pada suara ejekan yang melemahkan.
Penutupnya sederhana. Ejekan hanya bisa melukai jika kita izinkan. Jika kita punya kesadaran kritis, humor, bahasa tubuh, narasi internal yang sehat, keheningan strategis, semangat untuk membalikkan ejekan, serta dukungan yang tepat, ejekan akan kehilangan kuasanya.
Menurutmu, cara mana yang paling efektif untuk menghadapi ejekan dalam hidupmu? Tulis pendapatmu di kolom komentar dan jangan lupa share supaya lebih banyak orang bisa belajar cara mematahkan ejekan dengan elegan.(")
Komentar0