Sri Dzarrah Hayati Manvi, SH
Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Andalas (UNAND).
Adat basandi syara, syara basandi kitabullah (adat berlandaskan agama, agama berlandaskan kitab Allah (Alquran) merupakan filosofi budaya di Sumatera Barat yang sudah berlangsung lama sejak zaman dahulu, hingga saat ini.
Sumatera Barat adalah salah satu dari beberapa daerah di Indonesia (Sulawesi Selatan, Bali, dan Wakatobi) yang menerapkan sistem pemerintahan yang berbasis kearifan lokal. Sampai sekarang, setiap aspek kehidupan masyarakat Minangkabau termasuk sistem pemerintahan sangat dipengaruhi oleh adat istiadat, sampai pada tingkat desa.
Sumatera Barat mengenal sistem pemerintahan nagari dimana hal tersebut diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat No 7 tahun 2018 tentang Nagari.
Secara administratif, pemerintahan nagari berada dibawah kekuasaan kecamatan yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah kabupaten. Namun, nagari bukan bagian dari perangkat daerah pemerintah kota. Berdasarkan data statistik 2021, jumlah keseluruhan nagari yang ada di Sumatera Barat sebanyak 803 nagari. Tersebar di 11 Kabupaten, yaitu: Kabupaten Pesisir Selatan, Solok, Sijunjung, Tanah Datar, Padang Pariaman, Agam, Lima Puluh Kota, Pasaman, Solok Selatan, Dharmasraya dan Pasaman Barat (BPS Provinsi Sumatera Barat, 2021).
Khusus pada kabupaten kepulauan Mentawai, sistem pemerintahannya adalah berbentuk desa. Hal ini dikarenakan Mentawai tidak menganut budaya Minangkabau. Hal tersebut dibunyikan dalam pasal 23 Perda Sumatera Barat No 7 Tahun 2018, pada ketentuan lain bahwa pembentukan desa adat di kepulauan Mentawai diatur dengan Perda kabupaten Mentawai dengan ketentuan perundang-perundangan”.
Pada awalnya, bentuk pemerintahan asli di Kepulauan Mentawai dikenal sebutan Pemerintahan Laggai yang merupakan kumpulan beberapa uma dalam sebuah kampung. Uma adalah kesatuan unit persekutuan masyarakat hukum adat terkecil yang dihuni oleh 6-10 kepala keluarga dalam satu klan. Kemudian, pada masa orde baru, pemerintah terendah di Sumatera Barat adalah berbentuk desa yang berlangsung selama 20 tahun (UU No Tahun 1979).
Sehingga, pemerintahan nagari yang ada di Sumatera Barat berubah menjadi pemerintahan desa. Namun dalam perkembangannya, terjadi ketidaksesuaian pemerintahan desa terhadap pola masyarakat di Sumatera Barat seperti kewenangan dalam pengurusan hak ulayat.
Hal tersebut kemudian ditangani dan disepakati oleh pemerintah Provinsi Sumatera Barat bersama DPRD Sumatera Barat, yang selanjutnya membentuk peraturan daerah No 9 Tahun 2000, tentang pokok-pokok pemerintahan nagari.
Dengan demikian, bentuk pemerintahan Sumatera Barat kembali berubah menjadi pemerintahan nagari (babaliak kanagari). Dalam situasi tersebut, Kabupaten Mentawai sendiri terjadi dualisme kepentingan antara pemerintahan laggai yang berdasar kepada nilai arat sabulungan (mempercayai bahwa semua mahluk ciptaan memiliki roh-roh) sebagai sebuah pilihan dalam menjawab kebutuhan Mentawai dan pemerintahan desa (menjawab kebutuhan pasar dalam mengatur kepentingan publik di Mentawai).
Menurut Rijel Samaloisa dalam jurnalnya yang berjudul Pemerintahan Laggai Paham Arat Salubungan di Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat mengungkapkan fakta bahwa sistem desa yang dipaksakan menyebabkan pola pemerintahan berjalan saling bersinggungan dan juga saling menelikung dan membatasi. seperti pelabelan Sikebbukat Uma (Rimata) dan Sikerei sebagai simbol regulasi adat saja dimana dahulu menjadi elite utama dalam paham kekuasaan Arat Sabulungan.
Pertentangan yang terjadi sebagai jawaban atas kehadiran sistem pemerintahan desa di Mentawai menunjukkan realita pemaksaan pemberlakuan sistem pemerintahan desa yang tidak sesuai ketika dikaitkan dengan semangat demokrasi dan desentralisasi politik penyelenggaraan pemerintahan.
Konsep demokrasi dan desentralisasi merupakan ruang politik bagi Pemerintahan Laggai dalam memperoleh pengakuan dan penghargaan dari negara agar peran dan fungsinya sebagai self regulasi dapat menjadi sebuah model pemerintahan “masyarakat” sebagai sasaran utama memperoleh pelayanan maksimum atas haknya sebagai warga negara.
Sejalan dengan yang disampaikan oleh Rijal terhadap pembuktian keefektifan pemerintahan Laggai berlandaskan paham Arat Sabulungan di Mentawai memang perlu untuk dilakukan penelitian secara mendalam dan menyeluruh tentang efektivitas dan efisiensi keberadaan pemerintahan laggai dalam demokrasi adat, yang nantinya berujung pada kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Mentawai seperti dulu dan berdampak hingga waktu mendatang. (**)