Udang Terkontaminasi Lolos Badan Karantina, DPR: Reputasi RI Bisa Tercoreng.(livescience.com)
JAKARTA, GoSumatera - Badan Karantina memiliki posisi yang sangat strategis dalam menjaga kualitas dan keamanan produk perikanan Indonesia di mata dunia.
Hal ini disampaikan Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo menyikapi udang terpaparzat radiokatif di Cikande beberapa waktu lalu.
Menurutnya, keberadaan lembaga ini adalah garda terdepan untuk memastikan setiap produk ekspor, termasuk udang, terbebas dari masalah kontaminasi maupun pelanggaran standar internasional.
“Badan Karantina jangan hanya jadi stempel formalitas. Tugas mereka adalah memastikan bahwa udang dan produk perikanan lain yang diekspor memenuhi standar keamanan pangan dan kualitas yang ditetapkan negara tujuan. Kalau ada udang terkontaminasi radiasi bisa lolos, ini alarm serius,” ujar Firman, MInggu (5/10/2025).
Politikus Senior Golkar ini memaparkan setidaknya ada tiga kemungkinan penyebab lemahnya pengawasan yang memungkinkan kasus tersebut terjadi. Pertama, kesalahan prosedur atau pengawasan yang tidak efektif dalam pemeriksaan dan pengujian sampel udang.
Kedua, keterbatasan sumber daya yang dimiliki Badan Karantina, seperti peralatan pengujian yang belum modern atau keterbatasan jumlah tenaga ahli yang kompeten. Ketiga, adanya potensi praktik kolusi atau korupsi dalam proses pemberian izin ekspor.
“Bayangkan, jika udang terkontaminasi radiasi bisa menembus pasar internasional, yang dipertaruhkan bukan hanya kesehatan konsumen di luar negeri, tapi juga nama baik Indonesia. Reputasi negara kita bisa tercoreng dan berimbas pada turunnya kepercayaan pasar global terhadap produk perikanan Indonesia,” tegas Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI ini.
Firman juga mengingatkan bahwa ekspor perikanan, khususnya udang, merupakan salah satu andalan devisa negara dan sumber penghidupan bagi jutaan nelayan serta pelaku usaha di sektor kelautan. Oleh karena itu, sistem pengawasan harus benar-benar transparan, akuntabel, dan bebas dari intervensi kepentingan yang bisa merugikan negara.
“Kalau masalah seperti ini dibiarkan, maka dampaknya bisa sangat luas. Tidak hanya kerugian ekonomi karena ditolaknya produk di luar negeri, tapi juga bisa memicu pembatasan impor dari negara tujuan. Pada akhirnya, yang rugi adalah nelayan, pembudidaya, dan pelaku usaha kecil di dalam negeri,” tambah Firman yang juga Anggota Baleg DPR ini.
Karena itu, Firman mendesak pemerintah untuk segera memperkuat kapasitas Badan Karantina, baik dari sisi regulasi, sumber daya manusia, maupun infrastruktur laboratorium. Menurutnya, lembaga tersebut perlu dilengkapi dengan teknologi pengujian mutakhir yang mampu mendeteksi berbagai bentuk kontaminasi, termasuk radiasi, sejak tahap awal.
“Badan Karantina harus menjadi benteng terakhir yang kokoh. Jangan ada kompromi soal keamanan pangan dan kualitas ekspor. Pemerintah harus serius memperbaiki kelemahan prosedural dan menutup celah terjadinya praktik-praktik yang tidak sehat,” tegas legislator dapil Jateng ini.
Untuk itu, Firman mengingatkan bahwa kasus ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor perikanan.
"Tidaki boleh ada toleransi terhadap kelalaian yang bisa membahayakan kesehatan masyarakat, merugikan perekonomian, dan merusak reputasi bangsa di kancah global," tandas Wakil Ketua Umum Kadin ini.
Kasus Ekspor udang Indonesia ke USA
Kasus ekspor udang dari Indonesia ke Amerika Serikat yang dicurigai terpapar dengan radioaktif Cesium-137, menjadi perhatian publik di akhir bulan September 2025.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Food and Drug Administration AS menemukan adanya Cs-137 dalam beberapa kontainer udang beku asal Indonesia, sehingga produk tersebut dilarang untuk sementara waktu.
Cs-137 adalah isotop radioaktif yang dihasilkan dari proses fisi nuklir, yang dapat bersumber dari industri peleburan logam di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten, tempat terjadinya polusi.
Cesium-137 atau Cs-137 adalah zat radioaktif yang memiliki kemampuan memancarkan radiasi baik gamma maupun beta, serta memiliki waktu paruh sekitar tiga dekade.
Zat ini dapat mencemari lingkungan, terutama tercemar melalui elemen air dan udara, dan jika seseorang terpapar dalam dosis yang tinggi, bisa berpotensi membahayakan kesehatan, termasuk risiko kerusakan sel dan kanker.
Namun, jika paparan Cs-137 berada pada kadar rendah yang memenuhi standar, dianggap cukup aman untuk dikonsumsi oleh manusia.
Aktivitas radioaktif diukur menggunakan satuan Becquerel (Bq), yang menunjukkan jumlah peluruhan inti atom per detiknya. Misalnya, batas maksimal 500 Bq/kg berarti dalam satu kilogram bahan terdapat 500 peluruhan inti radioaktif setiap detik.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan maksimum Cs-137 dalam makanan sebesar 500 Bq/kg, sementara di AS ditetapkan batas 1.200 Bq/kg.
Tanggapan Menteri Koordinator Pangan
Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan menegaskan bahwa adanya kontaminasi Cs-137 pada produk udang beku yang terdeteksi hanya terjadi di Kawasan Industri Cikande, dan tidak menyebar ke pasokan nasional atau ekspor secara umum.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa tingkat kontaminasi jauh di bawah angka yang ditentukan, dengan beberapa kontainer menunjukkan hanya memiliki 68 Bq/kg, sehingga dinyatakan aman untuk konsumsi dari sudut pandang ilmiah.
Pemerintah juga telah melakukan tindakan dekontaminasi, dan menetapkan Cikande sebagai zona khusus berkaitan dengan radionuklida Cs-137.
Sebagian besar udang yang terpapar kontaminasi ini berasal dari polusi yang dihasilkan oleh industri peleburan logam PT Peter Metal Technology di Cikande yang melepaskan Cs-137 ke udara.
Zat tersebut kemudian menempel pada bubuk logam bekas dan mencemari kontainer udang beku saat kemasan dilakukan.
Pemerintah berusaha untuk melakukan re-ekspor terhadap kontainer ini dan mencegah dampak yang lebih luas terhadap sektor rumput laut dan perikanan, ucapnya.(**)
Komentar0